Logical Fallacy: Saat Akal Terperangkap dalam Kebenaran Semu

 


Editor: Ahmad Nur Ramadani

Dalam sejarah panjang manusia, akal selalu dipandang sebagai anugerah agung yang membedakan manusia dari makhluk lain. Dengan akal, manusia dapat menimbang, menalar, dan memahami hakikat segala sesuatu. Namun, justru di dalam kemampuan berpikir itulah tersembunyi jebakan halus yang sering tak disadari — jebakan yang disebut logical fallacy, atau kesesatan berpikir.

Logical fallacy bukanlah kebodohan, melainkan bentuk kelengahan akal ketika tergoda oleh emosi, ego, atau kata-kata yang menipu. Banyak orang merasa telah berpikir logis, padahal hanya sedang membenarkan keyakinan yang ingin dipertahankan. Kita mengutip tanpa menelaah, menyimpulkan tanpa menimbang, dan terkadang menyerang pribadi ketika argumen tak lagi mampu berdiri. Di situlah akal mulai kehilangan kejernihan, dan kebenaran pun tertutup oleh kabut retorika.

Islam menempatkan akal sebagai cahaya petunjuk, bukan alat pembenaran. Dalam Al-Qur’an, Allah berulang kali menyeru manusia untuk yatafakkarūn (berpikir), yatadabbarūn (merenung), dan ya‘qilūn (menggunakan akal). Artinya, berpikir adalah bagian dari ibadah — jalan yang mengantarkan manusia menuju pemahaman hakiki tentang diri dan Tuhannya. Ketika seseorang berpikir dengan jujur dan rendah hati, ia sedang berjalan menuju pengetahuan yang suci. Namun ketika berpikir dengan sombong, ia justru terjebak dalam kesesatan yang tersembunyi.

Imam Al-Ghazali pernah menasihati, “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.” Kalimat ini bukan sekadar ajakan untuk mengenal identitas diri, tetapi peringatan agar kita memahami bagaimana akal bekerja — bagaimana pikiran dapat menipu dan bagaimana ego dapat menyelewengkan logika. Dalam konteks ini, memahami logical fallacy menjadi bagian dari proses mengenal diri: mengenali titik-titik di mana akal tergelincir, dan hati tertutup oleh nafsu ingin menang.

Filsafat mengajarkan kita untuk tidak hanya bertanya apa yang benar, tetapi juga bagaimana kita tahu sesuatu itu benar. Dalam hal ini, logical fallacy adalah musuh kejujuran intelektual. Ia hadir ketika seseorang menolak bukti, menyerang pribadi lawan debat (ad hominem), menarik kesimpulan dari sebab yang salah, atau menggunakan emosi sebagai dasar kebenaran. Semua itu tampak meyakinkan di permukaan, tetapi rapuh di hadapan nalar yang tenang.

Di era digital, kesesatan berpikir menjadi semakin berbahaya. Informasi mengalir tanpa batas, dan kebenaran sering kalah cepat dari opini. Di media sosial, logical fallacy menjadi senjata paling populer: menyerang tanpa bukti, memelintir fakta, dan menutupi kelemahan argumen dengan permainan kata. Akibatnya, masyarakat kehilangan kemampuan berpikir kritis — lebih mudah tersulut daripada merenung.

Padahal, berpikir kritis adalah bagian dari akhlak ilmiah dan spiritual. Ia menuntut kejujuran dalam menimbang, kesabaran dalam mendengar, dan kerendahan hati untuk mengakui kesalahan. Orang yang mampu mengenali logical fallacy bukan hanya orang yang cerdas, tetapi juga orang yang beradab — sebab ia tidak menipu dirinya sendiri, tidak mempermainkan kebenaran, dan tidak memperdagangkan kata demi kemenangan sesaat.

Mengenali kesesatan berpikir bukanlah sekadar latihan logika, tetapi latihan jiwa. Ia mengajarkan kita untuk menundukkan ego, membersihkan niat, dan membuka ruang bagi kebenaran yang sejati. Karena pada akhirnya, kebenaran bukan hanya soal siapa yang benar dalam argumen, tetapi siapa yang tulus dalam mencari.

Maka marilah kita belajar berpikir dengan jernih, berbicara dengan hati, dan menimbang dengan iman. Sebab akal yang lurus adalah lentera yang menuntun hati menuju cahaya Tuhan. Dan ketika kita mampu menembus kabut logical fallacy, kita tak hanya menjadi manusia yang berpikir, tetapi juga manusia yang mengenal kebenaran — dengan akal yang bersih dan jiwa yang merdeka.

Asroy Adam

Belum ada Komentar untuk "Logical Fallacy: Saat Akal Terperangkap dalam Kebenaran Semu"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel