Literasi - Review Buku "Moga Bunda Disayang Allah"

Literasi - Review Buku "Moga Bunda Disayang Allah"

Judul Buku : Moga Bunda Disayang Allah
Oleh : Nurhasana Kamaruddin


     Buku Moga Bunda disayang Allah memberikan banyak pelajaran yang dapat digali dari perjuangan dua orang tokoh yakni seorang pemuda dengan masa lalu yang suram bernama Karang dan Melati, seorang gadis kecil dengan segala kekurangannya. Di dalam buku ini menekankan bahwa sesorang selalu memiliki janji masa depan yang lebih baik bahkan penulis berulang kali mengungkapkan kalimat wejangan bagi kita untuk bersabar dan bersyukur “Hidup ini adil, sungguh Allah Maha Adil, kitalah yang terlalu bebal sehingga tidak tahu dimana letak keadilan-Nya, namun bukan berarti Allah tidak adil”.

     Kisah ini bermula dari seorang pemuda yang sangat menyayangi anak kecil, Karang begitu sapaannya. Tetapi semua itu berubah ketika sebuah kecelakaan kapal laut terjadi dan ia tidak dapat menyelamatkan anak-anak yang bersamanya. Karang merasa trauma dan dihantui rasa bersalah. Ia menjauh dari anak-anak. Ia pun mengasingkan diri di sebuah pulau yang jauh dari ibu kota dan Ia berubah dari idola anak-anak menjadi pemabuk selama 3 tahun lamanya dan tak mempedulikan kehidupannya. Berantakan. Bau. Aroma alkohol bagaikan parfum tubuhnya. Penampakannya seram, rambut gondrong tak terurus dan mukanya brewokan. Hanya matanya sesekali menyiratkan keteduhan, itupun kalau tidak sedang mabuk.

     Kehidupannya mulai berubah ketika sepasang suami istri yang kaya raya dan dihormati di daerah itu datang memintanya untuk menjadi guru untuk Melati, seorang gadis kecil yang buta, tuli dan juga bisu dan sangat asing dengan dunianya. Karena efek trauma, Karang sering mabuk, cara mengajarnya menjadi sangat kasar dengan meneriaki, menyeret, memukul dan melakukan perbuatan semena-mena lainnya sehingga membuat semuanya bingung dan takut. Ia mengajari hal kecil seperti memegang sendok, duduk dengan baik, dan juga mengenali tempat sekitarnya. 

     Hari demi hari selalu seperti itu, pernah suatu waktu Karang putus asa atas apa yang harus dilakukannya. Bagaimana mungkin seorang anak dengan pandangan hitam, kosong, sunyi dan dengan tingkah yang agresif dapat belajar. Karang pusing berusaha menemukan ’kunci’ komunikasi Melati. Disaat Melati tertidur, Karang mulai membuka hatinya, menceritakan Qintan, gadis kecil yang sangat disayanginya yang merenggut nyawa bersama anak lainnya di masa lalu Karang. Karang kembali mendongeng biarpun Melati tidak mendengarnya. Ia mencium rambut Melati. Dengan sejuta voltase, ia bisa merasakan. Karang bisa berpikir, melihat, mendengar, merasakan persis seperti yang Melati rasakan sekarang. Dia bisa melihat gelap itu. Dia menatap kosong. Hitam. Seperti berdiri sendirian di ruangan yang gelap total, sebal, frustasi dan kerinduan. Gadis kecil ini rindu. Rindu mengenal siapa saja, Ayah, Ibu, teman, bahkan ia rindu mengenal-Nya. 

     Karena kebiasaan kurang baik dari Karang dan perlakuan kasarnya kepada Melati, Ayah melati tidak setuju dan mengusir Karang dari rumahnya. Tapi karena niat kuat dari Karang ia berjanji dan berusaha keras mengajari Melati. Itu menjadi tantangan lain yang harus dihadapinya. Namun mengajar dan mempelajari Melati adalah hal yang dilakukannya secara diam-diam dengan Ibu Melati saat Tuan Hk pergi ke Jerman. Pada akhirnya, waktu berakhir saat Tuan Hk kembali, kekacauan besar terjadi ketika Tuan Hk masih melihat Karang, orang yang telah diusirnya sejak dulu masih menyentuh anaknya. Semburan marah Tuan HK membuatnya tak memperhatikan perkembangan Melati. Melati telah makan dengan sendok-garpu dan tak mengacak-ngacak makanan seperti dulu. Tanpa disadari orang-orang, Melati melangkah keluar menuju taman. Ia disambut butir-butir air gerimis yang menyentuh lembut kulitnya. Dingin. Menyenangkan. Untuk pertama kalinya, ia tersenyum. Sementara seisi rumah sudah panik mencari gadis itu. 

     Melati sudah didekat air mancur membuatnya basah terciprat air. Ia basah kuyup. Tapi ia tak peduli, ia tertawa riang. Bunda ingin menggendongnya ke dalam rumah, Melati bisa sakit. Karang melarangnya. Kejutan sejuta voltase kembali menghampirinya. Ia bisa merasakannya. Gelap itu mendadak berubah menjadi tarian sejuta aurora. Gadis cilik itu tergugu. Ia tidak pernah melihat cahaya. c-a-h-a-y-a. Tuhan memberikan keajaibannya. Telapak tangan Melati lah kuncinya. Syaraf-syaraf permukaan telapak tangan menjadi lebih sensitif, mata-telinga-mulut Melati. 

“Baa…aa..aa” Melati bertanya. 
“A-i-r” Karang gemetar menuliskan huruf-huruf itu di telapak tangan Melati 

”Baa..a..aa”Melati mengerung pelan 

Karang mendekatkan telapak tangan Melati ke mulutnya..ia berkata sekali lagi ”a-i-r” 

     Melati tersenyum riang. Rasa frustasi yang mengungkungnya sirna. Ia mengerti. Ia tahu. Inilah nama benda yang dingin dan menyenangkan: air. 

     Dengan cepat..ia belajar mengenali Ayah, Bunda, ’Pak Guru’ Karang. Tak putus-putusnya ia bertanya kepada Karang. Ia belajar sangat cepat..Mengenali dunia yang tak sehitam dan sekosong dulu. 

     Pelajaran berharga yang dapat saya ambil dari buku ini yakni “benarlah. Jika kalian sedang bersedih, jika kalian sedang terpagut masa lalu menyakitkan, penuh penyesalah seumur hidup, salah satu obatnya adalah dengan menyadari masih banyak orang lain yang lebih sedih dan mengalami kejadian lebih menyakitkan dibandingkan kalian. Masih banyak orang lain yang tidak lebih beruntung dibandingkan kita. Itu akan memberikan pengertian bahwa hidup ini belum berakhir. Itu akan membuat kita selalu meyakini : setiap makhluk berhak atas satu harapan“.

Belum ada Komentar untuk "Literasi - Review Buku "Moga Bunda Disayang Allah""

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel