Bedah Buku “Merasa pintar, bodoh saja tak punya”


 

Bedah Buku “Merasa pintar, bodoh saja tak punya”

Kamis, 19 Januari 2023

Buku ini mengajak kita merenungkan kesombongan kita yang acap merasa lebih pintar

Buku  ini memuat kumpulan tulisan berseri selama 2 tahun (2015-2016) yang terbagi dalam ramadhan pertama dan kedua di situs web Mojok.co yang mengisahkan seorang sufi dari Madura bernama Cak Dlahom. Sang penulis, Rusdi Mathari membuat tulisan yang bertemakan agama dengan pendekatan humor agar lebih dipahami secara kontekstual dan substansial. Dlahom sendiri diambil dari diksi Jawa Timur yang berarti "agak bodoh". Kata bodoh ini menjadi refleksi dari kisah-kisah yang digambarkannya sangat berkorelasi dengan realita dewasa ini, pemahaman manusia terhadap Tuhan dan Agama mesti ditata kembali selepas membaca buku ini.

Dalam buku ini terdapat beberapa tokoh yang ada seperti Cak Dlahom, Mat Piti dan anaknya yakni Romlah, Pak Lurah, Pak RT dan lainnya yang berkisah di suatu perkampungan. Cak Dlahom yang oleh warga kampung dianggap kurang waras, namun sebetulnya dalam setiap perkataannya mengandung banyak makna yang sukar dipahami masyarakat terkecuali Mat Piti dan anaknya.

Mat Piti digambarkan sebagai orang yang biasa-biasa saja tapi terkenal dengan kedermawanannya. Sedangkan Cak Dlahom adalah seorang duda tua yang tinggal sendirian di kandang kambing milik Pak Lurah, hidup luntang-lantung tanpa pekerjaan. Dan Romlah bisa dikatakan perawan tua berumur 29 tahun yang juga peduli pada Cak Dlahom karena ingin meminta sarannya, membuat warga kampung penasaran dengan hubungannya dengan Cak Dlahom, yang ternyata ketiganya memang memiliki ikatan yang tidak diketahui warga kampung.

Setiap kisah yang ada di dalamnya mengandung hikmah yang dapat diambil dan dipelajari oleh pembaca. Tanpa bermaksud menggurui pembaca, buku 'Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya' membuka cakrawala pemikiran kita untuk menilai sesuatu tidak hanya pada kulitnya saja tetapi secara mendalam sampai pada akarnya. Dialog-dialog yang dekat dengan kehidupan sehari-hari membuat buku ini mudah untuk dipahami walau sebenarnya tersirat makna yang mendalam. 

 

Dari beberapa kisah yang tertera dalam buku 'Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya' ini saya tertarik pada segelintir cerita yang ringan tapi menohok yang diantaranya:

 

Tulisan pertama bertajuk "Benarkah Kamu Merindukan Ramadan?" mengisahkan warga kampung yang sibuk memasang spanduk dengan tulisan menyambut datangnya Ramadan. Namun, Cak Dlahom mempertanyakan apakah kita benar-benar merindukan Ramadan? Sedangkan menurutnya "Sesuatu yang diwajibkan adalah sesuatu yang manusia tidak suka mengerjakannya. Kalau manusia suka melakukannya, untuk apa diwajibkan?" (hal.5). Kalimat yang diutarakan Cak Dlahom mengubah persepsi kita bahwa kewajiban itu mesti dilaksanakan secara ikhlas dan tidak berpura-pura suka untuk melakukannya.

"Ikan Mencari Air, Mat Piti Mencari Allah", mengisahkan tentang Mat Piti yang menanyakan keberadaan Allah sama halnya ikan yang mencari air padahal ada pada sekelilingnya. Cak Dlahom kemudian berkata seperti ini "Persoalannya, bagaimana kamu akan mengenali Allah sementara salatmu baru sebatas gerakan lahiriah. Sedekahmu masih kau tuliskan di pembukuan laba rugi kehidupanmu. Ilmumu kau gunakan mencuri atau membunuh saudaramu. Kamu merasa pintar sementara bodoh saja tak punya." (hal.24). Begitu dalam pernyataan dari Cak Dlahom yang seakan mengisyaratkan bahwa segala yang dipunyai manusia adalah pemberian sang pencipta dan mestinya kita tidak bertanya dan mencari keberadaan-Nya tapi merasakan melalui setiap pemberian dan ciptaan-Nya.

"Menghitung Berak dan Kencing", bercerita tentang Romlah yang disuruh Mat Piti membawakan makanan untuk buka puasa kepada Cak Dlahom, namun Cak Dlahom berpesan kepada bapaknya kalau bersedekah harus ikhlas. Alhasil Mat Piti mendatanginya dan menanyakan hal tersebut. Kemudian Cak Dlahom berkata "Sebulan yang lalu? Setahun yang lalu? Sejak mulai kamu lahir kamu ingat, berapa kali kamu berak dan kencing? Seperti itulah ikhlas." (hal.42). Kita seringkali berkata ikhlas memberi sesuatu padahal masih perhitungan dan mengingat-ngingatnya, Cak Dlahom memberikan pengajaran bahwa ikhlas yang seyogianya itu tidak dihitung dan diingat.

"Membakar Surga, Menyiram Neraka" berkisah tentang Cak Dlahom yang bolak-balik mengelilingi masjid selepas tarawih hingga subuh memegang obor bambu, sembari berteriak orang di dalam masjid itu celaka. Lalu, Mat Piti menghampirinya dan bertanya Cak Dlahom kenapa melakukan hal demikian. "Salatmu dan sebagainya adalah urusanmu dengan Allah, tapi Sarkum yang yatim dan ibunya yang kere mestinya adalah urusan kita semua." (hal.117) Yang dilakukan Cak Dlahom tersebut mengisyaratkan bahwa beribadah kepada Tuhan jangan mengharapkan surga-Nya dan takut akan neraka-Nya tetapi karena kecintaan kita kepada-Nya, hingga tidak lupa juga peduli kepada sesama ciptaan-Nya.

"Puasa Mulut, Puasa Bicara", menceritakan tentang Cak Dlahom yang tiba-tiba hilang dari peradaban karena diam dan membisu yang menjadi isu nasional di kampung. Suasana kampung terasa sunyi dan hilang keseimbangan. Ternyata diamnya Cak Dlahom dikarenakan ia hendak puasa bicara. "Mulutku mengajarkan orang tentang kebajikan dan ketidakbajikan, tapi sebetulnya aku hanya mengharap orang-orang memujiku sebagai orang yang bijaksana. Sebagai orang yang alim. Mulutku menasehati orang lain, tapi perbuatan dan tingkah lakuku jauh dari yang aku nasihatkan. Mulutku memberitahukan dan mengajarkan sesuatu hanya agar aku dianggap berilmu luas." (hal.190) Hal tersebut yang membuat Cak Dlahom berhenti berbicara karena merasa takut dengan mulutnya yang tidak sesuai dengan tindakannya.

Itulah sekiranya beberapa bagian cerita yang termaktub dalam buku ini, yang membuat saya tertarik. Walau sebenarnya ke semua kisah yang ada di dalamnya tidak ada yang mengecewakan untuk dibaca. Semuanya diyakini akan mengubah paradigma kita dalam beragama dan bermasyarakat. Yang mengecewakan ialah ketika kita melewatkan waktu untuk tidak membaca dan mengilhami makna yang terkandung dalam buku ini.

 

Adapun beberapa nilai-nilai penting yang mesti diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari dari buku ini ialah:

 

Cinta ilmu dan rendah hati, dalam hal ini menggambarkan bahwa setinggi apapun ilmu yang kamu dapatkan tetap tiada tanding dengan apa yang dimiliki sang pencipta. Cak Dlahom dalam dialognya dengan Gus Mut, "Benar Cak, saya mau berguru. Sudah lama saya mencari guru." "Kamu mencari guru itu sudah benar, tapi aku bukan guru." (hal.129) Gus Mut dalam hal ini mengetahui bahwa Cak Dlahom adalah orang istimewa yang punya segudang ilmu, makanya Ia hendak belajar dengannya. Padahal Cak Dlahom yang walau dianggap tidak waras, petuahnya senantiasa mengandung banyak arti dan pelajaran penting, tetapi dengan pengetahuannya yang luas Ia tetap tidak mau disebut sebagai guru karena sikap rendah hatinya.

Ikhlas dan sabar, pelajaran tentang ikhlas dalam buku ini termaktub pada bagian "Menghitung Berak dan Kencing" seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya menjadi bagian yang menarik menurut saya. Di buku ini juga mengajarkan kita untuk sabar sebab semua telah diatur oleh sang pencipta. "Tak usah pedulikan peranmu dan peran yang diberikan kepada wayang yang lain, Mat. Tak perlku juga kamu mengurusi seluruh jalan cerita dan peran-peran itu. Sama seperti dirimu, mereka tak bisa berbuat apa-apa. Karena kita semua hanya wayang kok. Cuma wayang." (hal.69) 

Mempererat tali persaudaraan, pada buku ini sangat banyak nilai-nilai kemanusiaan yang termuat di dalamnya. Betapa pentingnya peduli sesama makhluk ciptaan-Nya dan saling mengasihi satu sama lain. Seperti dalam kutipannya "Ini semua adalah saudara-saudaramu, Sarkum. Mulai hari ini kamu tidak sendiri." (hal.214) Cak Dlahom mengajak Sarkum yang yatim piatu untuk jadi bagian dari keluarganya dengan Mat Piti dan Romlah padahal dia sama sekali tidak memiliki hubungan keluarga sekalipun. Tetapi berangkat dari hati nuraninya yang peduli sesama.

Saling memaafkan, banyak adegan yang memperlihatkan betapa pentingnya saling memaafkan satu sama lain, walaupun kita seringkali tidak melakukan salah apapun yang tergambarkan dalam buku ini. "Maafkan saya, Cak.." "Aku sudah memaafkanmu, Dul, jauh sebelum mulutmu mengucapkan permintaan maaf. Beruntung kamu karena kau mau menjelaskan duduk persoalannya." (hal.90)

Belum ada Komentar untuk "Bedah Buku “Merasa pintar, bodoh saja tak punya”"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel