SEJARAH WAJO


Oleh Nasrullah (Ketua Angkatan 2019 Hipermawa Koperti PNUP)


Sejarah secara etimologi berasa dari bahasa Arab ‘syajarotun’ yang artinya pohon atau keturunan, sedangkan dari bahasa Inggris ‘historia’ yang artinya masa lampau. Secara terminologi sejarah berarti asal-usul kejadian atau peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau (KBBI). Sejarah merupakan salah satu dari berbagai banyak pengetahaun yang memiliki sifat yang unik seperti sejarah itu membahas tiga dimensi kehidupan. Dimensi kehidupan yang dibahasa di dalam sejarah yaitu dimensi kehidupan masa lalu, dimensi kehidupan masa kini, dan dimensi kehidupan masa yang akan datang. Kehidupan masa lalu-lah yang menentukan kehidupan masa sekarang dan kehidupan masa yang akan datang tidak terlepas dari pengaruh dari kehidupan masa kini.
Dalam ilmu sejarah ada salah satu unsur sejarah yang digunakan agar kiranya kita dapat memahami dengan baik kehidupan yang terjadi masa lampau yaitu sejarah sebagai seni. Artinya bahwa dalam melukiskan peristiwa yang terjadi pada masa lampau maka kita harus mempunyai daya imajinasi yang kuat untuk membayangkan peristiwa yang terjadi pasa masa itu. Selain itu, di dalam ilmu sejarah ada yang dinamakan pembabatan masa. Pembabatan masa adalah membagi masa yang terjadi pada masa lampau sehingga lebih memudahkan untuk memahami peristiwa tersebut. Unsur inilah yang dipakai untuk memahami salah satu kerajaan yang cukup memiliki nama besar di Sulawei Selatan yaitu Kerajaan Wajo.
Membahas Kerajaan Wajo maka terdapat beberapa sumber yang digunakan. Seperti cerita turun-temurun atau ‘pau-pau ri kodong’ atau dari sumber lontara sukkuna Wajo atau biasa disingkat LSW. Menurut cerita turun temurun dikisahkan bahwa dikisahkan dulu ada seorang putri Datu Luwu yang terkena penyakit cacar kulit yang bernama We Taddampali sehingga dia meninggalkan negeri Luwu. Akhirnya We Taddampali sampai di Negeri yang bernama Tosora yang sekarang merupakan salah satu daerah di kabupaten Wajo. Akhirnya We Taddampali tinggal di sana. Pada suatu ketika datang saorang laki-laki yang tidak lain adalah putra dari raja Bone yang sedang berburu sehingga bertemu dengan We Taddampali. Putra dari raja Bone ini jatuh cinta melihat kecantikan We Taddampali sehingga dia pun pulang ke negerinya dan memberitahukan hal ini kepada ayahnya. Dia meminta kepada ayahnya agar dinikahkan dengan We Taddampali. Akhirnya ayahnya menyetujuinya dan mereka pun menikah dan tinggal bersama di Tosora. Mereka pun mendirikan kerajaan di sana yang dikenal dengan kerajaan Wajo. 
Namun pada umumnya ahli sejarah maupun pemerhati budaya lebih menggunakan sumber lontara sukkuna Wajo karena itu merupakan bukti fisik yang merupaka salah unsur yang dapat membuktikan kebenaran peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Karena di dalam ilmu sejarah harus disertakan dengan bukti sehingga peristiwa itu dapat diyakini kebenarannya. Disisi lain apabila suatu peristiwa tidak terdapat bukti pendukung maka hal itu dinamakan folklore atau kebudayaan. Menurut LSW diceritakan bahwa Dulu wajo merupakan daerah hutan yang luas yang dihuni berbagai binatang dan hewan. Suatu ketika ada orang yang menetap dan membuka lahan pertanian. Orang ini pintar berbicara dan meramal. Tidak lama kemudian orang mulai datang kesana untuk membuka lahan pertanian. Akhirnya orang-orang pun sepakat mengangkat orang yang memiliki kelebihan ini menjadi pemimpin mereka dan digelarilah puangnge ri lampulungeng. Tidak lama kemudian pungnge ri lampulungeng meninggal dunia dan rakyat mulai resah.
Tidak lama kemudian muncul lagi orang yang memiliki kelebihan seperti puangnge ri lampulungeng dan orang itu dingkat menjadi pemimpin mereka dan dinamakan puangnge ri timpengeng. Tidak lama kemudian meninggallah pemimpin mereka dan akhirnya mereka meninggal daerahnya dan masuk ke dalam hutan. Tidak lama kemudian muncul lagi seorang bersama pengikutnya yang bernama La Paukke. Dia bersama pengikutnya membuka lahan permukiman di daetah Cinnottabi. Rakyat pun sepakat agar La Paukke menjadi raja mereka dan berdirilah kerajaan Cinnottabi. Selanjutanya Lapaukke digantikan oleh anaknya yang bernama We pannangareng. Lalu yang menggantikan We Pannangareng yaitu anaknya yang bernama We Tenri Sui menjadi raja Cinnottabi yang ketiga. 
Di era pemerintahan inilah terdapat matoa yang fungsinya yaitu tempat anak-anak maupun orang tua untuk bermusyawarah dan di sampaikan kepada raja mereka. Setelah memerintah beberapa tahun akhirnya we tenri sui meninggal dunia dan yang menggantikannya yaitu anaknya yang bernama La Patiroi. Salah satu aktivitas politiknya yaitu membuat tatanan kelas sosial di dalam masyarakat. Selain itu dia juga mengangkat matoa pabbicara yang brtugas membantu raja dalam mengadili suatu perkara. Digambarkan bahawa Cinnottabi pada saat itu mulai berjaya. Yang menjadi raja selanjutnya yaitu La tenri bali dan adiknya La tenri tippe. Di era pemerintahan Cinnottabi yang kelima ini-lah terjadi penyimpangan sehingga masyarakat meninggalkan Daerah Cinnottabi dan mereka berangkat ke daerah Boli.
Disisi lain la tenri bali dan latenri tippe juga meninggalkan daerah cinoottabi dan mereka menuju ke Penrang. Di Daerah boli terbagi menjadi tiga negeri yaitu Majauleng, Sabbangparu, dan Takkalalla. Sehingga pemimpin dari ketiga negeri ini memanggil La Tenri Bali untuk memipin ketiga negeri mereka dan disetujui oleh La Tenri Bali. Akhirnya mereka mengadakan pelantikan dan perjanjian di Majauleng di bawah pohon Bajo yang besar. Nama Boli diubah menjadi Wajo atas kesepakatan bersama. Ini dilatar belakangi karena pohon Bajo itu memiliki wajo-wajo atau bayang-bayang yang dapat memberikan kesejukan bagi orang-orang yang berada di bawahnya sehingga wajo dilambangkan negeri yang dapat membawa kesejukan dan kedamaian. La Tenri Bali pun diangakat menjadi Batara Wajo pertama di bantu oleh tiga orang Pa’danreng dari Majauleng, Sabbangparu, dan Takkalalla. Di era pemerintahan La Tenri Bali dia membuat suatu cara untuk mengambil keputusan yaitu sistem musyawarah mufakat dan voting. Dari hal itulah Wajo di deklarasikan sebagai daerah pertama yang menggunakan sistem demokrasi di dunia.
Setelah La Tenri Bali meninggal dunia maka yang menggantikannya yaitu anaknya yang bernama La Mataesso yang bergelar Batara Wajo dua. Di era pemerintahannya, dia menugubah nama majauleng, Sabbangparu, dan Takkalalla menjadi Bettempola, Talotenreng, dan Tuwa. Setelah memerintah beberapa tahun dia pun meninggal dunia dan digantikan oleh La Pateddungi To Samallangi yang merupakan anaknya sendiri. Dia pun di beri gelar Batara Wajo tiga. Di era inilah raja sangat membuat masyarakat resah karena raja memiliki sifat buruk yaitu sering memperkosa istri orang lain. Sehingga La Patedungi To Samallangi di pecat dari kedudukannya oleh La Tiringen To Taba yang bergelar arung saotanre sehingga jabatan kebataraan lowong. 
Sehingga yang menjalankan pemerintahan yaitu La Tiringeng To Taba bersama para Pa’danreng. Setelah beberapa tahun akhirnya di putuskan yang memimpin mereka adalah La Palewo To Palippu dan bergelar arung matoa yang pertama. Dalam LSW di ceritakan bahwa kerajaan Wajo di pimpin hingga 45 orang matoa. Terakhir yang menjadi arung matoa adalah Andi Mangkona Datu Mario-Riwawo yang memerintah mulai 23 april 1933 dan berhenti secara terhormat pada 21 Nopember 1949. Semenjak saat itu Wajo berubah dari Kerajaan menajadi kabupaten di bawah naungan NKRI.
Sebagai generasi muda yang berintelektual maka seharusnya kita selalu mengadakan kajian-kajian mengenai sejarah baik sejarah lokal maupun nasional. Karena untuk mencintai sesuatu maka kita harus mengetahuai sesuatu itu. Apabila ingin cinta terhadap daerah kita maka harus mengetahui sejarahnya.

Jangan Lupa Ikuti Sosial Media Kami Untuk Mendapatkan Berita-Berita Ter-Update

Belum ada Komentar untuk "SEJARAH WAJO"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel